PEMERINTAHAN DAN HUBUNGAN SIPIL-MILITER
A. Pendahuluan
Salah satu unsur penting yang
tidak boleh alpa dalam satu negara adalah pemerintah atau pemerintahan. Secara
etimologis, kata pemerintah merujuk pada sekelompok orang yang diberi
kewenangan oleh rakyat untuk mengatur, mengontrol dan menjamin agar negara
tetap menjalankan fungsi dasarnya. Sedangkan kata pemerintahan lebih mengacu
pada suatu sistem pengaturan sebuah negara yang dijalankan oleh pemegang
kekuasaan (pemerintah). Pada prakteknya, dua kata tersebut lebih sering dipakai
secara bergantian dengan makna yang kurang labih serupa. Pada dasarnya,
pemerintahan dibentuk dengan tujuan dasar untuk menjamin distribusi hak-hak
dasar warganegara berjalan sebagaimana mestinya. Dalam Deklarasi Hak Asasi
Manusia Universal PBB disebutkan bahwa tiga hak dasar manusia yang tidak boleh
terganggu sama sekali pemenuhannya adalah hak hidup, hak
berpendapat-berekspresi serta hak atas kepemilikan sesuatu. Tidak bermaksud
untuk berapologi, jauh sebelum PBB medeklarasikan HAM Universal yang bertumpu
pada tiga hak dasar tersebut, Nabi Muhammad dalam khutbah haji wada’nya telah
menyebut bahwa manusia dilahirkan di dunia dengan hak-hak dasar yang melekat
pada dirinya.
Dalam konteks negara modern,
pemerintah memegang peran penting, terutama dalam bidang pelayanan publik, atau
birokrasi. Maju atau tidaknya sebuah negara, dalam hal ini sangat tergantung
pada kinerja dan integritas pemerintahnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan
apabila ada perbedaan yang cukup mendasar antara pemerintah di negara maju dan
pemerintah di negara miskin atau berkembang. Pemerintah di negara-negara maju,
pada umumnya lebih established, dalam artian lebih mapan tinimbang pemerintah
di negara-negara berkembang, apalagi miskin. Semakin maju dan moderat sebuah
negara, maka akan semakin demokratis pemerintahnya. Dua hal ini, moderat dan
demokratis, adalah dua hal yang saling berkaitan. Di negara-negara maju,
tingkat partisipasi politik rakyatnya bisa dipastikan tinggi, meski tidak harus
selalu terlibat dalam aktivitas politik praktis. Selain itu, angka pelanggaran
hukum juga relatif bisa ditekan. Keberhasilan pemerintah di negara-negara maju
tidak diperoleh dengan semudah membalikkann telapak tangan. Diperlukan proses
panjang untuk mewujudkan satu tatanan pemerintah yang memiliki integritas untuk
melayani rakyat. Kecakapan intelektualitas dan keteguhan hati (idealisme)
menjadi prasyarat mutlak dalam hal ini. Di sejumlah negara maju, kesadaran
dibangun dengan menegakkan hukum, dan harus diakui cara tersebut berhasil. Kesadaran
itulah yang menjadi barang langka di negara berkembang macam Indonesia. Pemerintah,
sebagai perwujudan dari eksistensi negara seolah-olah hanya menjadi ilusi bagi
rakyatnya, lantaran tidak jelas wujud kerjanya. Di mana pemeritah ketika rakyat
kelaparan? Di mana pemerintah ketika masyarakat miskin ditolak berobat ke rumah
sakit? Di mana pemerintah ketika jutaan anak negeri tidak mendapat akses ke
pendidikan? Adalah pertanyaan-pertanyaan keseharian yang sudah fasih dilafalkan
oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
Dalam sistem demokrasi, pemerintah
adalah “pelayan” bagi rakyat. Idealnya seorang pelayan, maka ia seharusnya
makan ketika rakyat sebagai tuannya sudah kenyang, bukannya sibuk plesiran ke
luar negeri ketika rakyatnya tengah bingung memikirkan harga bahan makanan yang
kian melangit. Kelemahan masyarakat negara berkembang adalah legitimasi mereka
pada suatu pemerintah bisa dengan mudah dibeli oleh segelintir orang. Pilihan
politik seorang warganegara yang menentukan masa depan seluruh bangsa, bisa
dengan mudah ditukar berlembar rupiah atau jabatan tertentu. Praktek inilah
yang menjadi kerikil-kerikil tajam bagi perjalanan demokrasi.
B. Bentuk-bentuk Pemerintahan
Ada dua bentuk pemerintahan yang
hingga saat ini berkembang di sejumlah negara di dunia, yakni pemerintahan
sipil dan pemerintahan militer. Meski sebagian besar negara di era modern ini lebih
memilih pemerintahan sipil, namun ada sejumlah kecil negara yang menjalankan
sistem pemerintahan militer, salah satunnya adalah Myanmar (Burma).
1.
Pemerintahan Sipil
Pada dasarnya, dua sistem
pemerintahan yakni sipil dan militer muncul secara bersamaan, dalam konteks
berlawanan satu sama lain. Pemerintahan sipil muncul sebagai tandingan dari
pemerintahan militer, sebaliknya pemerintahan sipil lahir sebagai oposan dari
pemerintahan militer yang acapkali represif-despotik. Dalam perkembangannya, banyak
negara yang mengkalim menjalankan kekuasaan melalui sistem pemerintahan sipil,
namun pada kenyataannya tetap memberikan porsi yang besar pada militer untuk
ikut campur dalam urusan politik, bahkan tidak jarang kekuatan militer dieksploitasi
untuk melanggengkan kekuasaan. Kondisi itu sempat terjadi di Indonesia, pada kepemimpinan
Presiden Soeharto.
Ada tiga bentuk pemerintahan sipil,
yakni model tradisional, liberal dan serapan. Pada pemerintahan sipil model
tradisional, tidak ada garis demarkasi yang jelas antara elit sipil dan
militer, keduanya sama-sama mendominasi kekuasaan. Model ini populer pada abad
ke-16 sampai 17 M, di mana negara-negara Eropa kala itu umumnya diperintah oleh
kelompok aristokrat yang terdiri atas kelompok elit sipil dan elit militer. Bersatunya
elit militer dan sipil pada pemerintah di sejumlah besar negara Eropa pada
abad-abad tersebut dimungkinkan lantaran
masing-masing pihak memiliki kepentingan atas kekuasaan yang sama. Ketiadaan
hal pembeda yang prinsipil itulah yang membuat keduanya “sepakat” berbagi kue
kekuasaan.
Sedangkan pemerintahan sipil model
liberal cenderung memiliki karakter yang jauh berbeda dengan model tradisional.
Di model liberal ini, pemerintah dijalankan oleh kelompok sipil disertai dengan
deskripsi pembagian kewenangan berdasar kompetensi masing-masing individu. Militer
dalam hal ini sepenuhnya berada di bawah kendali kelompok sipil. Kekuatan
militer diekspose manakala ditemukan ancaman yang berpotensi meruntuhkan
eksistensi negara, entah itu berasal dari dalam atau luar negara. Dalam
pemerintahan sipil model liberal, kelompok sipil dan militer dipisahkan
berdasar kewenangannya masing-masing. Lebih lanjut, kelompok sipil tidak
diperkenankan mengintervensi kewenangan militer, sebaliknya kelompok militer
juga tidak memiliki hak untuk mengintervensi pemerintah. Harus diakui sekali
lagi bahwa kondisi yang demikian itu sulit untuk direalisasikan secara mutlak,
lantaran pada kenyataannya pemerintahan sipil tidak pernah bisa sepenuhnya
bebas dari intervensi militer. Sebaliknya pula, urusan militer dalam banyak hal
juga sangat dipengaruhi oleh kekuatan sipil. Kondisi ini terjadi hampir di
seluruh negara, tidak terkecuali negara-negara maju sekalipun.
Yang terakhir, yakni model serapan
adalah pemerintahan yang dijalankan oleh kelompok sipil dengan karakteristik
kebijakan sipil untuk mendapatkan pengabdian dan loyalitas melalui penanaman ide
dan penempatan para ahli politik ke dalam tubuh militer. Dalam model ini,
politisi kalangan sipil mengendalikan kekuatan militer. Bisa jadi, militer
tidak lagi bertanggung jawab terhadap secara struktural kepada atasan, prajurit
ke panglimanya misalnya, namun kepada politisi kalangan sipil. Dalam model
serapan ini, politisi kalangan sipil mendominasi keseluruhan kekuatan politik
dari dua kubu, sipil atau militer. Model ini populer di negara-negara penganut
mazhab komunis yang memang identik dengan jejaring kekuasaanya yang terlampau
rapat sehingga tidak menyisakan ruang kontrol bagi rakyat.
2.
Pemerintahan Militer
Pemerintahan militer merujuk pada kondisi
di mana kelompok militer terlibat ke dalam urusan militer secara dominan, atau sekadar
melakuan intervensi atas kebijakan-kebijakan pemerintah. Latar belakang
keterlibatan langsung militer ke dalam arena politik seringkali dimotifasi oleh
satu keyakinan subyektif bahwa militer adalah kelompok yang bertanggung jawab
terhadap keberlangsungan sebuah negara. Kondisi ini sering disebut juga dengan
pretorianisme. Keterlibatan langsung militer dalam panggung politik sejatinya
sudah mengemuka sejak era Romawi, tepatnya pada abad 17-18 M. Istilah
pretorianisme pun berasal dari sini, yakni para tentara pretorian yang
dijadikan pengawal Raja Romawi dan para perwiranya diberi kewenangan untuk ikut
campur tangan dalam urusan politik.
Ada tiga bentuk intervensi atau
keterlibatan tentara militer ke dalam dunia politik, yakni:
ü
Ancaman yang diekspose secara terbuka pada
kelompok sipil agar tidak menggulingkan presiden atau hanya sekedar mengkritik
pemerintah.
ü
Mengambil alih pemerintah melalui kudeta yang
mengerahkan kekuatan militer.
Negara yang dipimpin oleh junta militer umumnya berkembang ke arah
negara yang despotik, represif dan anti pada demokrasi. Militer menggunakan kekuatan
dan sumber daya yang mereka miliki untuk melakukan kontrol ketat atas rakyat. Tidak
ada ruang bagi rakyat untuk mengemukakan gagasan-gagasannya. Semua ekspresi
ketidakpuasan terhadap negara akan selalu berhadapan dengan represifitas
militer. Ada tiga model pemerintahan militer, yakni model moderator proterian,
model pengawal proterian dan model penguasa proterian.
Dalam sistem pemerintahan militer model moderator preoterian, karakter
pemerintahan yang menonjol adalah militer memiliki hak untuk membatalkan
kebijakan pemerintah, meski militer sendiri tidak terlibat langsung ke dalam aktivitas
politik praktis. Kelompok sipil sebagai pemegang kendali pemerintahan, selalu
dibayang-bayangi oleh intervensi militer yang cukup kuat dalam membelokkan arah
kebijakan. Intervensi yang dilakukan pihak militer dapat berupa intervensi
halus, maupun ancaman kudeta. Perlu ditekankan bahwa tidak selamanya
intervensi, bahkan kudeta yang dilakukan oleh kelompok militer selalu
berkonotasi negatif. Acap kali ditemui, kudeta kelompok militer
dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan rakyat atas satu rezim tertentu. Jika
kudeta terjadi dalam konteks yang demikian itu, maka bisa dipastikan dukungan
rakyat berada di belakang kelompok militer. Sejumlah presiden di negara Amerika
Latin mendapatkan kekuasaanya dengan jalan kudeta atau pemberontakan terhadap
pemerintah sipil yang dikenal otoriter. Ketika berhasil meraih kekuasaan pun,
rezim militer ini mendapatkan dukungan penuh dari rakyat, terutama rakyat
kalangan bawah.
Model yang kedua adalah pengawal pretorian. Model ini merupakan fase lanjutan
dari model moderator proterian. Jika moderator pretorian cenderung bersifat
konservatif, maka karakter pengawal proterian terlihat reaksioner. Artinya, di
model kedua ini, kelompok militer tidak hanya berhenti pada upaya untuk
mempengaruhi atau merubah kebijakan pemerintah sipil, melainkan ingin berkuasa
penuh atas pemerintahan negara tersebut. Dalam model pengawal proterian, segala
upaya milter dalam aktivitas politik selalu bertujuan akhir untuk menggulingkan
pemerintahan sipil dan menggantikannya dengan rezim militer. Umumnya, militer
yang berhasil merebut kekusaan dari pemerintah sipil akan merubah
prinsip-prinsip dasar dalam bidang politik, ekonomi dan sosial-budaya.
Model ketiga adalah model penguasa proterian. Dalam model ini, militer
tidak hanya ikut campur atau mengintervensi, melainkan sudah berkuasa penuh
mengendalikan negara. Dalam model pengawal proterian, militer adalah kekuatan
paling dominan dalam struktur pemerintahan, mulai dari yang paling tinggi
hingga yang terrendah. Karakter khas dari pemerintahan militer adalah
keengganan mereka untuk mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi dalam sistem
pemerintahannya. Lebih dari itu, rezim militer akan berupaya sekut tenaga
memakai segala macam cara untuk mempertahankan dominasi mereka.
Dalam banyak sisi, pemerintahan sipil lebih
memungkinkan terjadinya proses demokrasi. Rezim militer cenderung mengarahkan
negara pada corak despotik-represif, di mana negara tumbuh menjadi satu
kekuatan yang tidak melayani rakyat melainkan justru menjadi “musuh” bagi
rakyat. Dalam pemerintahan sipil, semua sisi dalam kehidupan bernegara ada di
bawah kendali kekuatan militer. Jika pada negara demokrasi, pemerintah mengenal
pembagian kewenangan ke dalam tiga bidang yakni legislatif (pembuat UU),
eksekutif (pelaksana UU), dan yudikatif (pengadil dan penegak hukum), maka
pemerintahan militer mengerucutkan ketiga fungsi itu ke dalam satu pusat
kekuasaan, yakni rezim militer.
C.
Pemerintahan
Demokratis
Salah satu ciri dari pemerintahan
demokratis adalah adanya pembagian kewenangan pemerintah ke dalam tiga wilayah
kewenangan, yakni legislatif, eksekktif dan yudikatif. Legistatif adalah badan yang berwenang untuk membuat UU (legislate). Di beberapa negara, badan
legislatif ini disebut parlemen, sedangkan di Indonesia badan legislatif
disebut Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Parlemen atau badan legislatif yang
dihasilkan dari proses pemilihan umum, memiliki tanggung jawab untuk
melaksanakan tugas legislasinya, yakni menyusun UU yang merepresentasikan
kepentingan rakyat. Dalam alam demokrasi, kedaulatan tertinggi ada di tangan
rakyat. Parlemen, dalam hal ini adalah badan yang “dititipi” mandat kedaulatan
oleh rakyat.
Badan legislatif memiliki
sejumlah hak, yakni hak bertanya, hak interpretasi, hak angket dan hak mosi. Hak
bertanya artinya anggota badan legislatif berhak untuk mengajukan pertanyaan
pada pemerintah mengenai suatu hal. Hak interpretasi berarti anggota badan
legislatif memiliki hak untuk meminta penjelasan pada pemerintah mengenai
kebijakan tertentu. Dalam hal ini, pemerintah sebagai badan eksekutif
berkewajiban memenuhi hak interpretasi badan legistatif dengan memberikan
jawaban atas persoalan yang dipertanyakan. Hak angket berarti badan legislatif
berhak untuk membentuk badan khusus guna menyelidiki suatu persoalan yang belum
terselesaikan meski anggota legislatif sudah menggunakan hak interpretasinya. Sedangkan
hak mosi, adalah hak untuk melengserkan pemerintah (presiden beserta
kabinetnya) karena telah melanggar konstitusi atau dianggap tidak berhasil
menjalankan pemerintahan.
Jika badan
legislatif berwenang menyusun UU, maka badan eksekutif bermain pada wilayah pelaksana UU. Kelompok eksekutif
adalah kelompok pelaksana pemerintahan yang terdiri atas presiden berikut
pembantu-pembantunya (menteri, dll). Dalam sistem demokrasi presidensial,
presiden merupakan pemimpin tertinggi kelompok eksekutif, sedangkan dalam
demokrasi parlementer kabinet dipimpin oleh seorang perdana menteri. Dari segi
kuantitas, anggota eksekuti jauh lebih kecil tinimbang anggota badan
legislatif. Ada beberapa kewenanan yang diemban oleh badan eksekutif. Pertama,
diplomasi yakni menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain. Kedua,
menjalankan fungsi administratif, yakni melaksanakan UU dan menyelenggarakan
administrasi negara. Ketiga, melakukan koordinasi dengan lembaga-lembaga yang
lain untuk menciptakan pemerintahan yang sinergis.
Badan ketiga dalam kerangka trias politika adalah yudikatif. Yudikatif adalah badan yang memiliki kewenangan
judisial, yakni melaksanakan peradilan hukum di semua bidang (perdata maupun
pidana), baik pada wilayah sipil juga militer. Lembaga yudikatif terbagi ke
dalam sub-sub lembaga lagi yang mengurusi bidang penegakan hukum, seperti
mahkamah agung, mahkamah konstitusi dan sejenisnya.
Pada hakekatnya, dalam negara demokrasi, ketiga badan tersebut
idealnya bekerja secara sinergis, saling mendukung dan mengawasi satu sama
lain. Keberhasilan sebuah negara demokrat, tentu sangat dipengaruhi oleh
kinerja masing-masing lembaga dan bagaimana ketiganya bisa saling memainkan
peran tanpa terjadi tumpang tindih kewenangan. Hanya saja, pada prakteknya
masih sering ditemukan adanya rebutan pengaruh antarlembaga, demi kepentingan
yang sesungguhnya tidak esensial. Tidak jarang pula terjadi intervensi dari
satu lembaga pemerintahan kepada lembaga pemerintahan yang lain, hanya demi
kepentingan mengekspose supremasi lembaga. Hal-hal yang demikian itu pada
akhirnya hanya akan menjadi hambatan bagi proses demokrasi itu sendiri.
D.
Hubungan
Sipil-Militer di Indonesia
Sebelum membahas hubungan
sipil-militer dalam konteks Indonesia, ada baiknya terlebih dahulu membahas
hubungan sipil-militer dalam konteks yang lebih luas. Hubungan sipil-militer di
satu negara tidak selalu sama di negara lain. Bentuk pemerintahan yang diadopsi
oleh satu negara akan menjadi penentu corak hubungan sipil-militer di negara
tersebut. Negara di bawah kekuasaan junta militer tentu akan memiliki pola
hubungan sipil-militer yang jauh berbeda dengan negara di mana kelompok sipil
yang berkuasa. Di negara-negara maju Eropa, masyarakat sipil memiliki supremasi
yang lebih tinggi tinimbang militer. Hal ini menyebabkan militer lebih banyak
diposisikan sebagai subordinat dari masyarakat sipil. Namun, hal tersebut tidak
lantas berarti terjadi subordinasi militer. Di negara demokrasi liberal, peran
militer dalam kancah politik cenderung dibatasi, demi tetap terbukanya ruang
dialog yang bebas dan setara. Sebaliknya, di negara-negara berkembang, pola
hubungan yang seperti itu kurang populer. Pada negara berkembang, militer umumnya
memiliki ruang gerak yang cukup luas dalam kancah militer sehingga memungkinkan
bagi mereka untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah, bahkan dalam konteks
tertentu bisa mengambil alih pemerintahan.
Dalam konteks Indonesia, hubungan
sipil-militer mengalami perubahan, menyesuaikan iklim politik yang tengah
mengemuka. Di masa rezim Soeharto, hubungan sipil-militer lebih bercorak hegemonik,
di mana militer lebih banyak difungsikan sebagai “alat” untuk mengontrol
masyarakat agar tidak melancarkan “gangguan” terhadap rezim yang tengah
berkuasa. Kesan itu muncul dari dipakainya pendekatan militeristik dalam
menyelesaikan konflik vertikal yang ditimbulkan dari ketidakpuasan rakyat pada
pemerintah. Selain itu, militer dalam kancah politik Orde Baru juga memiliki
akses yang luas untuk masuk ke dalam aktifitas politik praktis. Bahkan, salah
satu elemen politik yang berperan penting melanggengkan kekuasaan Soeharto kala
itu. Militer di bawah kekuasaan Soeharto memiliki peran ganda, di satu sisi
sebagai penjaga kedaulatan republik, di sisi lain juga memainkan peran aktifnya
di dunia politik. Jika ditelaah lebih jauh, terutama dari perspektif sejarah,
peran ganda yang dijalankan oleh militer ini sudah mengemuka sejak era awal
kemerdekaan RI. Di masa itu, situasi yang tidak menentu lah yang memaksa
militer untuk memainkan peran gandanya, yakni sebagai pelindung keamanan
sekaligus sebagai pelakon dunia politik. Situasi yang tidak menentu dalam hal
ini merujuk pada satu kondisi di mana sebagai republik yang baru saja berdiri,
Indonesia belum memiliki perangkat-perangkat yang lengkap untuk mendukung berdirinya
satu negara. Untuk menjadi bagian dari angkatan bersenjata pun tidak diperlukan
syarat-syarat yang sulit. Sebagian besar anggota militer kala itu
berlatarbelakang non-profesional, artinya berasal dari rakyat biasa, dan ada
pula yang berasal dari kelompok-kelompok milisi yang di masa penjajahan ikut
berjuang langung mengusir penjajah. Dari sini nampak bahwa peran ganda yang
dimainkan militer di masa awal kemerdekaan berbeda dengan masa ketika rezim
Soeharto berkuasa. Peran ganda militer di masa awal berdirinya republik, lebih
banyak dilatarbelakangi oleh faktor alamiah, ketidaksengajaan. Sebaliknya, di
masa Soeharto peran ganda itu sengaja didesain oleh pemerintah atas
tujuan-tujuan tertentu sebagaimana disebut di muka.
Persoalan hubungan sipil-militer
dalam sebuah negara berkutat pada sejauh mana militer berpotensi melakukan
tekanan, ancaman dan segala macam bentuk intervensi pada masyarakat sipil. Dari
sisi hukum, persoalan ini bisa diantisipasi dengan menyusun konstitusi yang
tidak memungkinkan bagi militer untuk mengendalikan kebebasan masyarakat sipil.
Namun, dari sisi sosial hubungan sipil-militer harus diakui jauh lebih pelik,
karena berhubungan langsung dengan citra militer di mata masyarakat.
Sammuel Huntington, pakar politik Amerika,
berpendapat bahwa persoalan hubungan sipil militer akan terus menjadi hambatan
bagi proses demokratisasi. Ia mengatakan bahwa kudeta yang dilakukan oleh
militer di sejumlah negara Amerika Latin dan menjalar ke berbagai negara di
Timur Tengah dan sejumlah kawasan di Asia adalah bukti nyata bahwa di era
modern pun hubungan sipil-militer masih dihadapkan pada persoalan yang tak
kalah pelik dengan era masa lalu. Bangsa Afrika bisa dibilang sebagai bangsa yang
memiliki pengalaman panjang di bawah rezim militer. Sebagaimana diketahui,
sejumlah negara di benua Afrika pada era tahun 60-an hidup di bawah
pemerintahan militer. Rezim-rezim militer memimpin rakyat Afrika dengan ciri
khasnya sebagai pemimpin bertangan besi, anti demokrasi, dan gemar mengekspose cara-cara
kekerasan demi melanggengkan kekuasaan. Cerita mengenai genosida (pemusnahan satu
komunitas tertentu berdasar identitas yang mereka sandang) bukan cerita asing
di negara yang dikuasai rezim militer.
Kembali pada konteks Indonesia,
hubungan sipil-militer Indonesia mulai dibenahi dengan adanya gerakan reformasi
1998. Adalah Gus Dur, dalam perannya sebagai presiden kala itu, yang memainkan
peran yang cukup signifikan dalam merombak peran ganda militer dengan melakukan
gerakan desakralisasi TNI dan mengembalikan peran mereka sebagai penjaga
kedaulatan negara. Dari situlah militer tidak lagi bermain-main di wilayah
politik praktis lagi dan lebih fokus pada tugasnya menjaga keamanan negara dari
ancaman pihak luar. Upaya ini bisa dibilang berhasil meredam tindak pengebirian
kebebasan sipil yang acapkali dilakukan oleh militer sebagai kepanjangan tangan
pemerintah, seperti kerap terjadi di masa rezim Soeharto.
Dominasi militer di ranah politik adalah
salah satu hambatan bagi proses demokratisasi sebuah negara. Sejauh ini, tidak
ada negara di bawah kendali rezim militer yang berkembang menjadi negara yang
demokratis. Seolah-olah, demokrasi dan militer adalah dua kata yang tidak bisa
disandingkan bersamaan. Meski demikian, tidak lantas sebuah negara tidak butuh
militer. Meski Immanuel Kant, filosof kenamaan asal Jerman pernah berujar bahwa
jika dunia ini ingin damai, maka seharusnya tidak ada tentara, namun pada
kenyataannya negar tetap memerlukan keberadaan militer.
Ada kecenderungan pada kelompok
militer untuk masuk dan mendominasi pemerintah. Hal itu dilatarbelakangi oleh
beberapa faktor. Pertama, adanya keinginan dari individu-individu yang menjadi
bagian dari militer tersebut untuk masuk dan berkuasa di pemerintahan. Keinginan
individu ini pun dilatari oleh berbagai maca motivasi. Ada yang memiliki
motivasi luhur ingin merubah keadaan menjadi lebih baik, dan berkeyakinan bahwa
kekuatan militer memungkinkan untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Namun, tidak
sedikit pula yang dilatari oleh motivasi ingin mengecap manisnya kekuasaan
semata. Kedua, adanya kebutuhan bagi militer untuk masuk ke dalam struktur
pemerintahan. Kebutuhan tersebut timbul karena beberap alasan, antara lain
kegagalan rezim masyrakat sipil dalam mengelola negara, lemahnya masyarakat
sipil dalam mempertahankan pemerintahannya dari serangan asing, atau meledaknya
situasi chaostik yang disebabkan oleh kegagalan sebuah rezim pemerintahan.
Untuk kesekian kalinya ditegaskan bahwa
salah satu hambatan demokrasi, terutama di negara-negara berkembang atau negara
demokrat yang relatif masih muda, adalah memposisikan kekuatan militer pada
fungsi dasarnya, dan membatasi sepakterjang langsungnya dalam kancah politik. Harus
ada komitmen yang mengikat militer untuk setia di belakang masyrakat sipil dan
menjadi pelindung negara. Tidak mudah untuk merealisasikan tujuan itu karena banyak
pihak yang bermain di dalamnya memiliki kepentingan masing-masing. Demokratitasi
harus dibangun dengan memperkuat masyarakat sipil dan melakukan reformasi
paradigma pada tubuh militer. Terlebih dalam konteks Indonesia di mana potensi
militer untuk kembali ke dunia politik tersebut masih sangat kuat. Reformasi
tubuh militer, dalam hal ini TNI mutlak dilakukan untuk menjamin upaya
demokratisasi berjalan lancar. Untuk itu, hubungan
sipil-militer dengan pola civil supremacy perlu dipopulerkan. Civil supremacy,
atau menempatkan militer sebagai salah satu subordinat dari masyarakat sipil
bertujuan untuk melahirkan kontrol masyarakat sipil atas militer.
Comments
Post a Comment