Skip to main content

PEMERINTAHAN DAN HUBUNGAN SIPIL-MILITER



PEMERINTAHAN DAN HUBUNGAN SIPIL-MILITER
A.      Pendahuluan
Salah satu unsur penting yang tidak boleh alpa dalam satu negara adalah pemerintah atau pemerintahan. Secara etimologis, kata pemerintah merujuk pada sekelompok orang yang diberi kewenangan oleh rakyat untuk mengatur, mengontrol dan menjamin agar negara tetap menjalankan fungsi dasarnya. Sedangkan kata pemerintahan lebih mengacu pada suatu sistem pengaturan sebuah negara yang dijalankan oleh pemegang kekuasaan (pemerintah). Pada prakteknya, dua kata tersebut lebih sering dipakai secara bergantian dengan makna yang kurang labih serupa. Pada dasarnya, pemerintahan dibentuk dengan tujuan dasar untuk menjamin distribusi hak-hak dasar warganegara berjalan sebagaimana mestinya. Dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia Universal PBB disebutkan bahwa tiga hak dasar manusia yang tidak boleh terganggu sama sekali pemenuhannya adalah hak hidup, hak berpendapat-berekspresi serta hak atas kepemilikan sesuatu. Tidak bermaksud untuk berapologi, jauh sebelum PBB medeklarasikan HAM Universal yang bertumpu pada tiga hak dasar tersebut, Nabi Muhammad dalam khutbah haji wada’nya telah menyebut bahwa manusia dilahirkan di dunia dengan hak-hak dasar yang melekat pada dirinya.
Dalam konteks negara modern, pemerintah memegang peran penting, terutama dalam bidang pelayanan publik, atau birokrasi. Maju atau tidaknya sebuah negara, dalam hal ini sangat tergantung pada kinerja dan integritas pemerintahnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila ada perbedaan yang cukup mendasar antara pemerintah di negara maju dan pemerintah di negara miskin atau berkembang. Pemerintah di negara-negara maju, pada umumnya lebih established, dalam artian lebih mapan tinimbang pemerintah di negara-negara berkembang, apalagi miskin. Semakin maju dan moderat sebuah negara, maka akan semakin demokratis pemerintahnya. Dua hal ini, moderat dan demokratis, adalah dua hal yang saling berkaitan. Di negara-negara maju, tingkat partisipasi politik rakyatnya bisa dipastikan tinggi, meski tidak harus selalu terlibat dalam aktivitas politik praktis. Selain itu, angka pelanggaran hukum juga relatif bisa ditekan. Keberhasilan pemerintah di negara-negara maju tidak diperoleh dengan semudah membalikkann telapak tangan. Diperlukan proses panjang untuk mewujudkan satu tatanan pemerintah yang memiliki integritas untuk melayani rakyat. Kecakapan intelektualitas dan keteguhan hati (idealisme) menjadi prasyarat mutlak dalam hal ini. Di sejumlah negara maju, kesadaran dibangun dengan menegakkan hukum, dan harus diakui cara tersebut berhasil. Kesadaran itulah yang menjadi barang langka di negara berkembang macam Indonesia. Pemerintah, sebagai perwujudan dari eksistensi negara seolah-olah hanya menjadi ilusi bagi rakyatnya, lantaran tidak jelas wujud kerjanya. Di mana pemeritah ketika rakyat kelaparan? Di mana pemerintah ketika masyarakat miskin ditolak berobat ke rumah sakit? Di mana pemerintah ketika jutaan anak negeri tidak mendapat akses ke pendidikan? Adalah pertanyaan-pertanyaan keseharian yang sudah fasih dilafalkan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
Dalam sistem demokrasi, pemerintah adalah “pelayan” bagi rakyat. Idealnya seorang pelayan, maka ia seharusnya makan ketika rakyat sebagai tuannya sudah kenyang, bukannya sibuk plesiran ke luar negeri ketika rakyatnya tengah bingung memikirkan harga bahan makanan yang kian melangit. Kelemahan masyarakat negara berkembang adalah legitimasi mereka pada suatu pemerintah bisa dengan mudah dibeli oleh segelintir orang. Pilihan politik seorang warganegara yang menentukan masa depan seluruh bangsa, bisa dengan mudah ditukar berlembar rupiah atau jabatan tertentu. Praktek inilah yang menjadi kerikil-kerikil tajam bagi perjalanan demokrasi.
B.      Bentuk-bentuk Pemerintahan
Ada dua bentuk pemerintahan yang hingga saat ini berkembang di sejumlah negara di dunia, yakni pemerintahan sipil dan pemerintahan militer. Meski sebagian besar negara di era modern ini lebih memilih pemerintahan sipil, namun ada sejumlah kecil negara yang menjalankan sistem pemerintahan militer, salah satunnya adalah Myanmar (Burma).
1.       Pemerintahan Sipil
Pada dasarnya, dua sistem pemerintahan yakni sipil dan militer muncul secara bersamaan, dalam konteks berlawanan satu sama lain. Pemerintahan sipil muncul sebagai tandingan dari pemerintahan militer, sebaliknya pemerintahan sipil lahir sebagai oposan dari pemerintahan militer yang acapkali represif-despotik. Dalam perkembangannya, banyak negara yang mengkalim menjalankan kekuasaan melalui sistem pemerintahan sipil, namun pada kenyataannya tetap memberikan porsi yang besar pada militer untuk ikut campur dalam urusan politik, bahkan tidak jarang kekuatan militer dieksploitasi untuk melanggengkan kekuasaan. Kondisi itu sempat terjadi di Indonesia, pada kepemimpinan Presiden Soeharto.
Ada tiga bentuk pemerintahan sipil, yakni model tradisional, liberal dan serapan. Pada pemerintahan sipil model tradisional, tidak ada garis demarkasi yang jelas antara elit sipil dan militer, keduanya sama-sama mendominasi kekuasaan. Model ini populer pada abad ke-16 sampai 17 M, di mana negara-negara Eropa kala itu umumnya diperintah oleh kelompok aristokrat yang terdiri atas kelompok elit sipil dan elit militer. Bersatunya elit militer dan sipil pada pemerintah di sejumlah besar negara Eropa pada abad-abad tersebut dimungkinkan  lantaran masing-masing pihak memiliki kepentingan atas kekuasaan yang sama. Ketiadaan hal pembeda yang prinsipil itulah yang membuat keduanya “sepakat” berbagi kue kekuasaan.
Sedangkan pemerintahan sipil model liberal cenderung memiliki karakter yang jauh berbeda dengan model tradisional. Di model liberal ini, pemerintah dijalankan oleh kelompok sipil disertai dengan deskripsi pembagian kewenangan berdasar kompetensi masing-masing individu. Militer dalam hal ini sepenuhnya berada di bawah kendali kelompok sipil. Kekuatan militer diekspose manakala ditemukan ancaman yang berpotensi meruntuhkan eksistensi negara, entah itu berasal dari dalam atau luar negara. Dalam pemerintahan sipil model liberal, kelompok sipil dan militer dipisahkan berdasar kewenangannya masing-masing. Lebih lanjut, kelompok sipil tidak diperkenankan mengintervensi kewenangan militer, sebaliknya kelompok militer juga tidak memiliki hak untuk mengintervensi pemerintah. Harus diakui sekali lagi bahwa kondisi yang demikian itu sulit untuk direalisasikan secara mutlak, lantaran pada kenyataannya pemerintahan sipil tidak pernah bisa sepenuhnya bebas dari intervensi militer. Sebaliknya pula, urusan militer dalam banyak hal juga sangat dipengaruhi oleh kekuatan sipil. Kondisi ini terjadi hampir di seluruh negara, tidak terkecuali negara-negara maju sekalipun.
Yang terakhir, yakni model serapan adalah pemerintahan yang dijalankan oleh kelompok sipil dengan karakteristik kebijakan sipil untuk mendapatkan pengabdian dan loyalitas melalui penanaman ide dan penempatan para ahli politik ke dalam tubuh militer. Dalam model ini, politisi kalangan sipil mengendalikan kekuatan militer. Bisa jadi, militer tidak lagi bertanggung jawab terhadap secara struktural kepada atasan, prajurit ke panglimanya misalnya, namun kepada politisi kalangan sipil. Dalam model serapan ini, politisi kalangan sipil mendominasi keseluruhan kekuatan politik dari dua kubu, sipil atau militer. Model ini populer di negara-negara penganut mazhab komunis yang memang identik dengan jejaring kekuasaanya yang terlampau rapat sehingga tidak menyisakan ruang kontrol bagi rakyat.
2.       Pemerintahan Militer
Pemerintahan militer merujuk pada kondisi di mana kelompok militer terlibat ke dalam urusan militer secara dominan, atau sekadar melakuan intervensi atas kebijakan-kebijakan pemerintah. Latar belakang keterlibatan langsung militer ke dalam arena politik seringkali dimotifasi oleh satu keyakinan subyektif bahwa militer adalah kelompok yang bertanggung jawab terhadap keberlangsungan sebuah negara. Kondisi ini sering disebut juga dengan pretorianisme. Keterlibatan langsung militer dalam panggung politik sejatinya sudah mengemuka sejak era Romawi, tepatnya pada abad 17-18 M. Istilah pretorianisme pun berasal dari sini, yakni para tentara pretorian yang dijadikan pengawal Raja Romawi dan para perwiranya diberi kewenangan untuk ikut campur tangan dalam urusan politik.
Ada tiga bentuk intervensi atau keterlibatan tentara militer ke dalam dunia politik, yakni:
ü  Ancaman yang diekspose secara terbuka pada kelompok sipil agar tidak menggulingkan presiden atau hanya sekedar mengkritik pemerintah.
ü  Mengambil alih pemerintah melalui kudeta yang mengerahkan kekuatan militer.
Negara yang dipimpin oleh junta militer umumnya berkembang ke arah negara yang despotik, represif dan anti pada demokrasi. Militer menggunakan kekuatan dan sumber daya yang mereka miliki untuk melakukan kontrol ketat atas rakyat. Tidak ada ruang bagi rakyat untuk mengemukakan gagasan-gagasannya. Semua ekspresi ketidakpuasan terhadap negara akan selalu berhadapan dengan represifitas militer. Ada tiga model pemerintahan militer, yakni model moderator proterian, model pengawal proterian dan model penguasa proterian.
Dalam sistem pemerintahan militer model moderator preoterian, karakter pemerintahan yang menonjol adalah militer memiliki hak untuk membatalkan kebijakan pemerintah, meski militer sendiri tidak terlibat langsung ke dalam aktivitas politik praktis. Kelompok sipil sebagai pemegang kendali pemerintahan, selalu dibayang-bayangi oleh intervensi militer yang cukup kuat dalam membelokkan arah kebijakan. Intervensi yang dilakukan pihak militer dapat berupa intervensi halus, maupun ancaman kudeta. Perlu ditekankan bahwa tidak selamanya intervensi, bahkan kudeta yang dilakukan oleh kelompok militer selalu berkonotasi negatif. Acap kali ditemui, kudeta kelompok militer dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan rakyat atas satu rezim tertentu. Jika kudeta terjadi dalam konteks yang demikian itu, maka bisa dipastikan dukungan rakyat berada di belakang kelompok militer. Sejumlah presiden di negara Amerika Latin mendapatkan kekuasaanya dengan jalan kudeta atau pemberontakan terhadap pemerintah sipil yang dikenal otoriter. Ketika berhasil meraih kekuasaan pun, rezim militer ini mendapatkan dukungan penuh dari rakyat, terutama rakyat kalangan bawah.
Model yang kedua adalah pengawal pretorian. Model ini merupakan fase lanjutan dari model moderator proterian. Jika moderator pretorian cenderung bersifat konservatif, maka karakter pengawal proterian terlihat reaksioner. Artinya, di model kedua ini, kelompok militer tidak hanya berhenti pada upaya untuk mempengaruhi atau merubah kebijakan pemerintah sipil, melainkan ingin berkuasa penuh atas pemerintahan negara tersebut. Dalam model pengawal proterian, segala upaya milter dalam aktivitas politik selalu bertujuan akhir untuk menggulingkan pemerintahan sipil dan menggantikannya dengan rezim militer. Umumnya, militer yang berhasil merebut kekusaan dari pemerintah sipil akan merubah prinsip-prinsip dasar dalam bidang politik, ekonomi dan sosial-budaya.
Model ketiga adalah model penguasa proterian. Dalam model ini, militer tidak hanya ikut campur atau mengintervensi, melainkan sudah berkuasa penuh mengendalikan negara. Dalam model pengawal proterian, militer adalah kekuatan paling dominan dalam struktur pemerintahan, mulai dari yang paling tinggi hingga yang terrendah. Karakter khas dari pemerintahan militer adalah keengganan mereka untuk mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi dalam sistem pemerintahannya. Lebih dari itu, rezim militer akan berupaya sekut tenaga memakai segala macam cara untuk mempertahankan dominasi mereka.
 Dalam banyak sisi, pemerintahan sipil lebih memungkinkan terjadinya proses demokrasi. Rezim militer cenderung mengarahkan negara pada corak despotik-represif, di mana negara tumbuh menjadi satu kekuatan yang tidak melayani rakyat melainkan justru menjadi “musuh” bagi rakyat. Dalam pemerintahan sipil, semua sisi dalam kehidupan bernegara ada di bawah kendali kekuatan militer. Jika pada negara demokrasi, pemerintah mengenal pembagian kewenangan ke dalam tiga bidang yakni legislatif (pembuat UU), eksekutif (pelaksana UU), dan yudikatif (pengadil dan penegak hukum), maka pemerintahan militer mengerucutkan ketiga fungsi itu ke dalam satu pusat kekuasaan, yakni rezim militer.
C.      Pemerintahan Demokratis
Salah satu ciri dari pemerintahan demokratis adalah adanya pembagian kewenangan pemerintah ke dalam tiga wilayah kewenangan, yakni legislatif, eksekktif dan yudikatif. Legistatif adalah badan yang berwenang untuk membuat UU (legislate). Di beberapa negara, badan legislatif ini disebut parlemen, sedangkan di Indonesia badan legislatif disebut Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Parlemen atau badan legislatif yang dihasilkan dari proses pemilihan umum, memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan tugas legislasinya, yakni menyusun UU yang merepresentasikan kepentingan rakyat. Dalam alam demokrasi, kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Parlemen, dalam hal ini adalah badan yang “dititipi” mandat kedaulatan oleh rakyat.
                   Badan legislatif memiliki sejumlah hak, yakni hak bertanya, hak interpretasi, hak angket dan hak mosi. Hak bertanya artinya anggota badan legislatif berhak untuk mengajukan pertanyaan pada pemerintah mengenai suatu hal. Hak interpretasi berarti anggota badan legislatif memiliki hak untuk meminta penjelasan pada pemerintah mengenai kebijakan tertentu. Dalam hal ini, pemerintah sebagai badan eksekutif berkewajiban memenuhi hak interpretasi badan legistatif dengan memberikan jawaban atas persoalan yang dipertanyakan. Hak angket berarti badan legislatif berhak untuk membentuk badan khusus guna menyelidiki suatu persoalan yang belum terselesaikan meski anggota legislatif sudah menggunakan hak interpretasinya. Sedangkan hak mosi, adalah hak untuk melengserkan pemerintah (presiden beserta kabinetnya) karena telah melanggar konstitusi atau dianggap tidak berhasil menjalankan pemerintahan.
                Jika badan legislatif berwenang menyusun UU, maka badan eksekutif bermain pada wilayah pelaksana UU. Kelompok eksekutif adalah kelompok pelaksana pemerintahan yang terdiri atas presiden berikut pembantu-pembantunya (menteri, dll). Dalam sistem demokrasi presidensial, presiden merupakan pemimpin tertinggi kelompok eksekutif, sedangkan dalam demokrasi parlementer kabinet dipimpin oleh seorang perdana menteri. Dari segi kuantitas, anggota eksekuti jauh lebih kecil tinimbang anggota badan legislatif. Ada beberapa kewenanan yang diemban oleh badan eksekutif. Pertama, diplomasi yakni menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain. Kedua, menjalankan fungsi administratif, yakni melaksanakan UU dan menyelenggarakan administrasi negara. Ketiga, melakukan koordinasi dengan lembaga-lembaga yang lain untuk menciptakan pemerintahan yang sinergis.
Badan ketiga dalam kerangka trias politika adalah yudikatif. Yudikatif adalah badan yang memiliki kewenangan judisial, yakni melaksanakan peradilan hukum di semua bidang (perdata maupun pidana), baik pada wilayah sipil juga militer. Lembaga yudikatif terbagi ke dalam sub-sub lembaga lagi yang mengurusi bidang penegakan hukum, seperti mahkamah agung, mahkamah konstitusi dan sejenisnya.
Pada hakekatnya, dalam negara demokrasi, ketiga badan tersebut idealnya bekerja secara sinergis, saling mendukung dan mengawasi satu sama lain. Keberhasilan sebuah negara demokrat, tentu sangat dipengaruhi oleh kinerja masing-masing lembaga dan bagaimana ketiganya bisa saling memainkan peran tanpa terjadi tumpang tindih kewenangan. Hanya saja, pada prakteknya masih sering ditemukan adanya rebutan pengaruh antarlembaga, demi kepentingan yang sesungguhnya tidak esensial. Tidak jarang pula terjadi intervensi dari satu lembaga pemerintahan kepada lembaga pemerintahan yang lain, hanya demi kepentingan mengekspose supremasi lembaga. Hal-hal yang demikian itu pada akhirnya hanya akan menjadi hambatan bagi proses demokrasi itu sendiri.
D.      Hubungan Sipil-Militer di Indonesia
Sebelum membahas hubungan sipil-militer dalam konteks Indonesia, ada baiknya terlebih dahulu membahas hubungan sipil-militer dalam konteks yang lebih luas. Hubungan sipil-militer di satu negara tidak selalu sama di negara lain. Bentuk pemerintahan yang diadopsi oleh satu negara akan menjadi penentu corak hubungan sipil-militer di negara tersebut. Negara di bawah kekuasaan junta militer tentu akan memiliki pola hubungan sipil-militer yang jauh berbeda dengan negara di mana kelompok sipil yang berkuasa. Di negara-negara maju Eropa, masyarakat sipil memiliki supremasi yang lebih tinggi tinimbang militer. Hal ini menyebabkan militer lebih banyak diposisikan sebagai subordinat dari masyarakat sipil. Namun, hal tersebut tidak lantas berarti terjadi subordinasi militer. Di negara demokrasi liberal, peran militer dalam kancah politik cenderung dibatasi, demi tetap terbukanya ruang dialog yang bebas dan setara. Sebaliknya, di negara-negara berkembang, pola hubungan yang seperti itu kurang populer. Pada negara berkembang, militer umumnya memiliki ruang gerak yang cukup luas dalam kancah militer sehingga memungkinkan bagi mereka untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah, bahkan dalam konteks tertentu bisa mengambil alih pemerintahan.
Dalam konteks Indonesia, hubungan sipil-militer mengalami perubahan, menyesuaikan iklim politik yang tengah mengemuka. Di masa rezim Soeharto, hubungan sipil-militer lebih bercorak hegemonik, di mana militer lebih banyak difungsikan sebagai “alat” untuk mengontrol masyarakat agar tidak melancarkan “gangguan” terhadap rezim yang tengah berkuasa. Kesan itu muncul dari dipakainya pendekatan militeristik dalam menyelesaikan konflik vertikal yang ditimbulkan dari ketidakpuasan rakyat pada pemerintah. Selain itu, militer dalam kancah politik Orde Baru juga memiliki akses yang luas untuk masuk ke dalam aktifitas politik praktis. Bahkan, salah satu elemen politik yang berperan penting melanggengkan kekuasaan Soeharto kala itu. Militer di bawah kekuasaan Soeharto memiliki peran ganda, di satu sisi sebagai penjaga kedaulatan republik, di sisi lain juga memainkan peran aktifnya di dunia politik. Jika ditelaah lebih jauh, terutama dari perspektif sejarah, peran ganda yang dijalankan oleh militer ini sudah mengemuka sejak era awal kemerdekaan RI. Di masa itu, situasi yang tidak menentu lah yang memaksa militer untuk memainkan peran gandanya, yakni sebagai pelindung keamanan sekaligus sebagai pelakon dunia politik. Situasi yang tidak menentu dalam hal ini merujuk pada satu kondisi di mana sebagai republik yang baru saja berdiri, Indonesia belum memiliki perangkat-perangkat yang lengkap untuk mendukung berdirinya satu negara. Untuk menjadi bagian dari angkatan bersenjata pun tidak diperlukan syarat-syarat yang sulit. Sebagian besar anggota militer kala itu berlatarbelakang non-profesional, artinya berasal dari rakyat biasa, dan ada pula yang berasal dari kelompok-kelompok milisi yang di masa penjajahan ikut berjuang langung mengusir penjajah. Dari sini nampak bahwa peran ganda yang dimainkan militer di masa awal kemerdekaan berbeda dengan masa ketika rezim Soeharto berkuasa. Peran ganda militer di masa awal berdirinya republik, lebih banyak dilatarbelakangi oleh faktor alamiah, ketidaksengajaan. Sebaliknya, di masa Soeharto peran ganda itu sengaja didesain oleh pemerintah atas tujuan-tujuan tertentu sebagaimana disebut di muka.
Persoalan hubungan sipil-militer dalam sebuah negara berkutat pada sejauh mana militer berpotensi melakukan tekanan, ancaman dan segala macam bentuk intervensi pada masyarakat sipil. Dari sisi hukum, persoalan ini bisa diantisipasi dengan menyusun konstitusi yang tidak memungkinkan bagi militer untuk mengendalikan kebebasan masyarakat sipil. Namun, dari sisi sosial hubungan sipil-militer harus diakui jauh lebih pelik, karena berhubungan langsung dengan citra militer di mata masyarakat.
Sammuel Huntington, pakar politik Amerika, berpendapat bahwa persoalan hubungan sipil militer akan terus menjadi hambatan bagi proses demokratisasi. Ia mengatakan bahwa kudeta yang dilakukan oleh militer di sejumlah negara Amerika Latin dan menjalar ke berbagai negara di Timur Tengah dan sejumlah kawasan di Asia adalah bukti nyata bahwa di era modern pun hubungan sipil-militer masih dihadapkan pada persoalan yang tak kalah pelik dengan era masa lalu. Bangsa Afrika bisa dibilang sebagai bangsa yang memiliki pengalaman panjang di bawah rezim militer. Sebagaimana diketahui, sejumlah negara di benua Afrika pada era tahun 60-an hidup di bawah pemerintahan militer. Rezim-rezim militer memimpin rakyat Afrika dengan ciri khasnya sebagai pemimpin bertangan besi, anti demokrasi, dan gemar mengekspose cara-cara kekerasan demi melanggengkan kekuasaan. Cerita mengenai genosida (pemusnahan satu komunitas tertentu berdasar identitas yang mereka sandang) bukan cerita asing di negara yang dikuasai rezim militer.
Kembali pada konteks Indonesia, hubungan sipil-militer Indonesia mulai dibenahi dengan adanya gerakan reformasi 1998. Adalah Gus Dur, dalam perannya sebagai presiden kala itu, yang memainkan peran yang cukup signifikan dalam merombak peran ganda militer dengan melakukan gerakan desakralisasi TNI dan mengembalikan peran mereka sebagai penjaga kedaulatan negara. Dari situlah militer tidak lagi bermain-main di wilayah politik praktis lagi dan lebih fokus pada tugasnya menjaga keamanan negara dari ancaman pihak luar. Upaya ini bisa dibilang berhasil meredam tindak pengebirian kebebasan sipil yang acapkali dilakukan oleh militer sebagai kepanjangan tangan pemerintah, seperti kerap terjadi di masa rezim Soeharto.
Dominasi militer di ranah politik adalah salah satu hambatan bagi proses demokratisasi sebuah negara. Sejauh ini, tidak ada negara di bawah kendali rezim militer yang berkembang menjadi negara yang demokratis. Seolah-olah, demokrasi dan militer adalah dua kata yang tidak bisa disandingkan bersamaan. Meski demikian, tidak lantas sebuah negara tidak butuh militer. Meski Immanuel Kant, filosof kenamaan asal Jerman pernah berujar bahwa jika dunia ini ingin damai, maka seharusnya tidak ada tentara, namun pada kenyataannya negar tetap memerlukan keberadaan militer.
Ada kecenderungan pada kelompok militer untuk masuk dan mendominasi pemerintah. Hal itu dilatarbelakangi oleh beberapa faktor. Pertama, adanya keinginan dari individu-individu yang menjadi bagian dari militer tersebut untuk masuk dan berkuasa di pemerintahan. Keinginan individu ini pun dilatari oleh berbagai maca motivasi. Ada yang memiliki motivasi luhur ingin merubah keadaan menjadi lebih baik, dan berkeyakinan bahwa kekuatan militer memungkinkan untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Namun, tidak sedikit pula yang dilatari oleh motivasi ingin mengecap manisnya kekuasaan semata. Kedua, adanya kebutuhan bagi militer untuk masuk ke dalam struktur pemerintahan. Kebutuhan tersebut timbul karena beberap alasan, antara lain kegagalan rezim masyrakat sipil dalam mengelola negara, lemahnya masyarakat sipil dalam mempertahankan pemerintahannya dari serangan asing, atau meledaknya situasi chaostik yang disebabkan oleh kegagalan sebuah rezim pemerintahan.
Untuk kesekian kalinya ditegaskan bahwa salah satu hambatan demokrasi, terutama di negara-negara berkembang atau negara demokrat yang relatif masih muda, adalah memposisikan kekuatan militer pada fungsi dasarnya, dan membatasi sepakterjang langsungnya dalam kancah politik. Harus ada komitmen yang mengikat militer untuk setia di belakang masyrakat sipil dan menjadi pelindung negara. Tidak mudah untuk merealisasikan tujuan itu karena banyak pihak yang bermain di dalamnya memiliki kepentingan masing-masing. Demokratitasi harus dibangun dengan memperkuat masyarakat sipil dan melakukan reformasi paradigma pada tubuh militer. Terlebih dalam konteks Indonesia di mana potensi militer untuk kembali ke dunia politik tersebut masih sangat kuat. Reformasi tubuh militer, dalam hal ini TNI mutlak dilakukan untuk menjamin upaya demokratisasi berjalan lancar. Untuk itu, hubungan sipil-militer dengan pola civil supremacy perlu dipopulerkan. Civil supremacy, atau menempatkan militer sebagai salah satu subordinat dari masyarakat sipil bertujuan untuk melahirkan kontrol masyarakat sipil atas militer.

Comments

Popular posts from this blog

Laporan Alat Peraga Matematika

Laporan Praktikum Strategi Pembelajaran Matematika Dosen Pengampu        : Suparni M.Pd Nama Asisten             : Mirza Ibdaur Rozien Nama Mahasiswa        : 1.       Adil Wicaksono                       (13600042) 2.       Ima Lestari                               (13600011) 3.       Fitriana Eka Wulandari            (13600018) 4.       Hikmah Maslakhah                  (1360...

MODEL PENILAIAN KURIKULUM 2013

MAKALAH MODEL PENILAIAN KURIKULUM 2013 Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Evaluasi Pembelajaran Matematika Dosen Pengampu : Sintha Sih Dewanti, M.Pd   Disusun Oleh    : 1.       Ima Lestari                           (136000 11 ) 2.       Koniatus Solihah                   (136000 19 ) 3.       Nur Hidayah                                    (136000 22 ) 4.       Heri Susanto           ...